Creative Parenting : Kebiasaan Buruk Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak (Part 2)
Mari kita lanjutkan kebiasaan buruk orang tua lainnya yang menghasilkan perilaku buruk pada anak
Pendengar yang buruk
Sebagian besar
orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada
suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung
menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh,
anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di
sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan
tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat
anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan
pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu
memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha
mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan
akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Jika kita tidak
menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar yang baik.
Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan
ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
Selalu menuruti permintaan anak
Apakah anak kita
adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu dari
beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah bertahun
tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat
sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo apa aja
boleh atau dituruti.
Seperti Radja
Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi
kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini
akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa
bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Betapapun sayangnya
kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa
sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita
benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang
benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita
akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam
bahasa awam sering disebut anak manja.
Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah
kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua
jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan
secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan
kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan
itu.
Pada saatnya anak
tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik
dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan
perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka
(jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat
perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang
baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan
memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara
anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta
pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas
yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di
rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala
lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar
yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang
memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya
cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan
bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak
yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak
menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah!
Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat
itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan
kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001
[alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan.
Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya
sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia
tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan
pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal
ini?
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Jangan pernah
memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun
yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh
orang lain.
Dengarkan,
dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada
saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan
ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?”
artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar
yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang
tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan
kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang
apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya
dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap
dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi
kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Jika kita tidak
ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya.
Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai
dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia
itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”,
atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”.
Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat
kita. Coba dan buktikanlah!.
Suka Membandingkan
Hal yang paling
menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila kita sedang
berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau
berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan. Apalagi jiak
disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!
Secara psikologis,
kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat
kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat
ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya,
kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya.
Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan
yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak
yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah.
Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar
kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap
melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan;
anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki
dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Tiap manusia
terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali
membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing
masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di
masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya,
“Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak
ya?”
Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah
masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah masa
ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah mengapa
ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang tua.
Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal
hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam
kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki
kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak
mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan
superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam
kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan
nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya
kita lakukan?
Seringkali usia
dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada
zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak
berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti
kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah
merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah
setiap masukan yang datang dari anak kita.
Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak
terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua belah
pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa
timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai
merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling
menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang
kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian
dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana
aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan
masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya,
sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi
karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan
merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya
kita lakukan?
Hentikan saling
menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara
berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah
kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua
orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan
berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan
introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini
terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah pada
saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi
sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh
nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak
beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh
utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk
persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan
melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok
tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si
Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi
selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun
mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak
adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar.
Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani
menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan
lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya
kita lakukan?
Anak harus diajari
untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia
lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia.
Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil.
Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai
benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah
dipahami oleh anak anak anda.
Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi,
kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan
kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa
dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan
trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif.
Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak
akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya
pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Jangan pernah
sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau
menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau
sabetan.
Gunakanlah kata
kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri
kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan
dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
Menunda atau membatalkan hukuman
Kita semua tahu
bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai
gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan
tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat dari rokok
itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan
anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila
anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau
bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi
kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan
permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan
kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak
biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek
, kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan
membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan
mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya
tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Jika kita sudah
mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan,
jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya
jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti
jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya
yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling
dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau
malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang,
dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar la
gi.
Apa yang seharusnya
kita lakukan?
Yang terbaik adalah
diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila
anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan
kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita
akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi.
Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan
mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti berulah, Bila proses ini
membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk melakukannya. Dalam proses
ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita; dan jangan pula ada
orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI
KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN
MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal yang perlu kita
perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman
apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita
sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2
maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan
anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa.
Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan
di luar batas.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
- bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
- Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
Mengejek
Orang tua yang
biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak
menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya,
kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu. Hal ini
akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering terjadi anak tidak
menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya
yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya
kita lakukan?
Jika ingin bercanda
dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang
merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang jadi
badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita sesudah acara
canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa membuat anak kesal
apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan
meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu
meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak
bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Menyindir
Terkadang karena
saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang
pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau
“Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang
jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak
akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya
akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah
menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?
Katakanlah secara
langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan,
memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir
akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya mengganti julukan
buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika
tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
Mengumpan Anak yang Rewel
Pada saat anak
marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita biasanya
mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini dimaksudkan
supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan
anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena ia minta dibelikan
mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan
perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau”
Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu,
pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing
emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya
adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini
belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke
hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya
dilakukan?
Selesaikan apa yang
diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di
tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara
langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti
“Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus
menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila kamu terus
merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat ini
yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita pulang meski
urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa menundanya.
Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak
terbentuk karena 4 hal:
- berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
- oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
- oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
- oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Bangun komunikasi
dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk
perilaku anak kita. Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di
luar rumah yang padat bagi anak2nya. Gantilah program TV
dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun
hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada
yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi menjadi objek
penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Hal ini secara tidak langsung mengajari anak balas
dendam. Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif dan apa yang kita
ajarkan saat itu akan membekas. Jangan kaget bila anak kita sering membalas
atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya
kita lakukan?:
- mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
- Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
- ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Sumber : Buku 37 kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak”; Mengapa Anak saya suka melawan dan susah diatur?; oleh Ayah Edy
Komentar
Posting Komentar