Creative Parenting : Kebiasaan Buruk Orang Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada Anak (Part 1)
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa
orangtua adalah sumber referensi utama perilaku bagi anak. Oleh karena itu jika
kita ingin memiliki perilaku anak yang baik maka berkacalah pada diri sendiri
terlebih dahulu dengan membiasakan diri berperilaku baik sebelum meminta anak
menjadi baik. Berikut adalah kebiasaan orangtua yang menghasilkan perilaku
buruk pada anak :
Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar
jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka
menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti
adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil
mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah
cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam. Ketika proses pemukulan
terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah
mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah. Yang salah orang
atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya,
setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang
keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih
lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal
tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini
terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak
pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan
ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya
menangis? Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung
jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang
menurutnya terasa sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali
hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
Berbohong Kecil
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang
selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa? KArena mereka percaya
sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak
menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi? Apakah anak kita
sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap
hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh
pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta
ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong
dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita
buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok,
hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang
malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan
anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.”
Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada
hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita
berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata
besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat
membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut,
anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak
mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak.
Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor.
Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi
terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi
pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia
belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus.
Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi
hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Sebaliknya bila pergi ke tempat selain
kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam
mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita
katakan.
Banyak Mengancam
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti
jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti MAma/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya
melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak
dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu
sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa
marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat
pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui
pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah
mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan
ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin
kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti
itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya. tatap
matanya dengan lembut, namum perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan
tindakan yang mereka lakukan. Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata,
“Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu.
Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau
teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan
suatu konsekuensi, misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke
adikmu, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa
bermain. MAinan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau pinjamkan mainan itu ke
adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan
kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau
“Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa
menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita
inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang
tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.
Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah
oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja
melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang
tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu
salah di hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita
inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal
yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang kita
inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami dan
melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan ,
ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih sayang atas segala usahanya
untuk berubah.
Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan
di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur,
suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada
mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai
orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita
seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur.
Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar
agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain
sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan
kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang
rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.
Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak
anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan
pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang
kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur
yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas
adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut.
Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk
menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti
adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan
perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara;
setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa
kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan, misal “Sayang,
Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila
jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat
setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit,
dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”. Nah,
persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima
menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi. Jika sang anak tidak nurut,
segera laksanakan konsekuensinya.
Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab
para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat
dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang
anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang
bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus
agar anak tidak stress. Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat
dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai
melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus
sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di
hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan
langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang
mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu
mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan
,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung
pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante, atau
Pihak Lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah
berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita,
tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3
yang dimaksud seperti kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga
inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama
tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat
pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti
mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak
juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang
tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut
campur pada saat proses pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua
si anak. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima
dengan baik oleh para pihak ke-3.
Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para
orang tua pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga
terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam,
ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek
atau menangis, namun secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau
benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan
pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena
sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa,
katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis,
tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang
memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam
mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan.
Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati
orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi
sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk
merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu
belajar, tidak menonton televisi. Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji
apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak
bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia
untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji
itu.
Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan
pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari
kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi
adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta
sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus
mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai
orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi
dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya
sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah
bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada
kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah
konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir
atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami
masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak,
Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN
dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada
perilaku buruk si anak.
Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa
Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa
sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya
daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang
tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita,
para orang tua
menyetujui perilaku buruk anaknya dengan
ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin akrena saya
juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap
keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita
memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia
melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya
(penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti
ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? .
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar
pada anak kita adalah hal yang terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi
sosial ekonomi dan waktu kita dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah
yang unik, tidak sama. Ada orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi
miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal
yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit
waktu; gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara
sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga
kita, anak akan terbiasa.
Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang
berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri
atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah,
selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi
bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras. Dalam kondisi
kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru
keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan
dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan
perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan
dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras
betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa
maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras
untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan
hati dan pantang menyerah. Jiak perlu ambil orang orang yang kita anggap tegas
untuk jadi penasihat harian kita.
Marah Yang Berlebihan
Kita seringkali menyamakan antara mendidik
dengan memarahi. Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik
yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka,
melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi
masalah dengan baik. Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan
kesalahan pada pihak lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih
kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah! Jadi
tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita lakukan seperti masuk kamar mandi
atau pergi menghindar sehingga amarah mereda. Yang perlu dilakukan adalah
bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang tegas adalah dengan nada yang
datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam. Bicara tegas
adalah bicara pada saat pikiran kita rasional, sedangkan bicara keras adalah
pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada
saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak
kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha
memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang
sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita
akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak
menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik
kok.
Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita
terlanjur marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari,
akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan rasa gengsi, kita enggan menyapa
anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang
normal.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi
mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang
seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan
mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak
bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang
tua konservatif. Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal banget
dan suka ngacak, orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus
bandel” atau saat melihat kakak adik lagi jambak jambakan, mamanya bilang
“maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau bahkan ketika si anak memukul teman
atau mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan “ya begitu
deh, maklumlah namanya juga anak anak. Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru
yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar,
dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak
perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai
dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa dididik dengan tegas[ingat: bukan
keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola
dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau bekerja sama selama kita selalu
mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten. Ingat, tidak perlu
menunggu hingga usianya beranjak dewasa, karena semakin bertambah usia, semakin
tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.
Penggunaan istilah yang tidak jelas
maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua
mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau kamu mau diajak sama
mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama
mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan
ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali
menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah
ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud
dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula
dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam
macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah
istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik,
misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak boleh minta mainan,
permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti kemarin ya”. Hal ini
penting agar anak mengetahui batasan batasan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya bila kesepakatan
ini dilanggar.
Mengharap perubahan instan
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba
instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant. Sehingga kita anak
berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instant pula, misal
ketika biasa terlambat bangun, nggak beresin tempat tidur, sulit dimandikan,
kita ingin agar anak kita berubah total dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan
pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar
anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia
akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih
untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau
marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan
pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk
bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya.
Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah.
Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk
melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan
keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal
ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada
hasilnya.
Sumber : Buku 37 kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak”; Mengapa Anak saya suka melawan dan susah diatur?; oleh Ayah Edy
Komentar
Posting Komentar